Minggu, 14 Agustus 2011

Situs Batu Tapak Sukamakmur, Wisata Sejarah dan Mencari Wangsit



“Tidak jarang para pengunjung menginap di lokasi situs dengan beralaskan tikar seadanya”
 
Bebatuan berukuran raksasa di daerah pegunungan, seperti Sukamakmur, Kabupaten Bogor, tentu bukanlah sesuatu yang asing. Tapi jika di bebatuan tersebut terdapat simbol-simbol peradaban masa lalu sudah barang tentu menjadikannya sebagai sesuatu yang langka. Dan, itulah yang terdapat di Kampung Pasir Awi, Desa Sukamakmur, sebongkah batu raksasa yang di atasnya terdapat bekas tapak manusia.
Batu raksasa langka yang dinamai dengan ‘Batu Tapak’ itu sendiri digolongkan sebagai situs peninggalan sejarah. Meski riwayatnya sendiri tidak begitu jelas, situs tersebut kini dimasukkan sebagai asset sejarah yang dilindungi. Itu sebab, selain batu dibuatkan pelindung berbentuk pendopo, instansi yang menangani barang-barang purbakala juga menempatkan seorang tenaga sebagai penjaga sekaligus perawat situs.
“Penjaga tersebut mendapatkan insentif dari Pemkab Bogor dan Pemprov Jawa Barat,” kata Deden S, Staf Bagian Perekonomian dan Pembangunan Kecamatan Sukamakmur, belum lama ini.
Situs Batu Tapak termasuk salah satu objek wisata di wilayah tersebut yang banyak mendapat kunjungan para wisatawan. Tidak hanya pada hari-hari libur, pada hari-hari biasa sekalipun pengunjung tetap ada. “ Para wisatawan biasanya datang untuk memuaskan rasa ingin tahunya seputar tapak manusia yang ada di atas batu,” jelas Deden.
Tapak manusia yang terdapat di atas batu itu hanya sebelah dan tidak diketahui secara pasti milik siapa dan pemiliknya pun tidak diketahui hidup di tahun berapa. Soalnya, tidak ada catatan sejarah di lokasi situs. Beberapa warga yang ditemui juga mengaku tidak mengetahui secara pasti sejarah keberadaan situs tesebut.
Di samping memuaskan rasa ingin tahu, para pengunjung juga tidak sedikit di antaranya datang dengan tujuan tertentu, semisal mencari wangsit. Mereka yang datang dengan tujuan ini justru jauh lebih banyak dibanding wisata murni. Mereka berdatangan dari berbagai tempat. Di antaranya, Karawang, Banten dan bahkan dari Sumatera.
“Tidak jarang para pengunjung menginap di lokasi situs dengan beralaskan tikar seadanya,” papar Deden.
Terlepas dari motivasi para pengunjung, objek wisata sejarah itu sendiri seolah merana. Meski sudah menjadi salah satu objek wisata, pengelolaannya terkesan setengah hati. Jalan menuju situs rusak parah, sehingga sulit dilintasi kendaraan roda dua dan roda empat. Sarana prasarana pendukung di lokasi wisata itu sendiri sama sekali tidak ada.
Deden tidak membantah hal itu. Menurutnya, pihak kecamatan telah mengusulkan agar di objek wisata itu dibangun sarana prasarana pendukung. Adapun sarana prasarana yang sangat dibutuhkan para wisatawan adalah sarana tempat istirahat berupa bangunan saung, wc atau kamar mandi dan mushola. Yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan infrastruktur jalan menuju lokasi situs. O

Tidak ada komentar:

Posting Komentar